Phalaenopsis amabilis satu dari 40 spesies anggrek yang tergabung dalam marga Phalaenopsis. Marga ini dibentuk seorang bernama Carl Blume di tahun 1825 berdasar penemuan Phalaenopsis amabilis di Jawa Tengah. Tercatat spesies ini sebelumnya ditemukan Rumphius tahun 1750. Meski Rumphius mengidentifikasi sebagai marga Angraecum. Bibir atau labellum Phalaenopsis amabilis didominasi warna putih dan kuning dengan kecerahan berbeda dengan bagian dalam yang kemerahan.
Phalaenopsis amabilis hanyalah satu dari sekian banyak anggrek endemik Sulawesi yang makin jarang ditemukan di habitat asli. Dari sebuah ekspedisi anggrek di hutan Bolli Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan, tahun 2008 ditemukan 37 spesies anggrek. Tiga tergolong langka: Phalaenopsis amabilis, Phalaenopsis ambonensis, dan Dendrobium anosmum var. huttoni.
Ironisnya, salah satu anggrek khas Sulawesi, Phalaenopsis celebensis justru tidak ditemukan pada ekspedisi ini. Padahal hutan Bolli dulu habitat utama Phalaenopsis celebensis.
Di Sulawesi Selatan (Sulsel) spesies anggrek yang pernah ditemukan kurang lebih 253 jenis, makin berkurang akibat perburuan ataupun penebangan hutan untuk pembukaan lahan ataupun pertambangan.
Di Indonesia, ditemukan 5.000 dari total 30.000 spesies, sebagian besar tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi dan Papua.
Rinaldi Sjahrir, peneliti anggrek dari Universitas Hasanuddin, ditemui di kantor sekaligus laboratorium di Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, 16 Juli 2013 memperkirakan, populasi anggrek alam Sulawesi, khusus Sulsel terus menurun. Bahkan mungkin suatu saat punah jika tidak ada upaya penyelamatan.
Apalagi, minat pecinta anggrek terhadap anggrek alam makin besar. Mereka agresif merambah hutan untuk mendapatkan anggrek-anggrek langka. “Anggrek alam atau kerap disebut sebagai anggrek spesies ini makin banyak diburu kolektor anggrek. Untuk mendapatkan sebagian besar orang mengambil langsung di habitat, di hutan-hutan.”
Dampaknya, bukan hanya makin populasi anggrek di hutan berkurang juga kelestarian hutan itu sendiri. Perburuan anggrek alam makin gencar beberapa tahun terakhir ini. Transaksi jual beli anggrek alam Sulawesi bebas dilakukan antara lain di Pasar Malino, Kabupaten Gowa, Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Rappang, Sidrap dan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Potensi perusak habitat anggrek lain, kata Rinaldi, adalah aktivitas tambang, seperti di Sumarorong, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Ada kasus di Poso dan di Soroako, Luwu Timur.
Keragaman anggrek alam setiap wilayah di Indonesia tergolong spesifik, termasuk di Pulau Sulawesi, salah satu pulau di Wallace. Kawasan ini berada diantara garis Wallace di bagian barat dan garis Weber di bagian timur, dan memiliki biota anggrek unik.
Menurut Rinaldi, anggrek tanaman unik. Tidak bisa langsung dipindahkan ke tempat lain seperti tanaman lain, karena hidup sangat tergantung pada keberadaan mikoriza.
Mikoriza adalah kelompok fungi (jamur) yang bersimbiosis dengan tumbuhan tingkat tinggi (tumbuhan berpembuluh, tracheophyta), khusus pada sistem perakaran. Terdapat juga fungi bersimbiosis dengan fungi lain. Namun sebutan mikoriza biasa untuk mereka yang menginfeksi akar.
Mikoriza memerlukan akar tumbuhan untuk melengkapi daur hidup. Sebaliknya, beberapa tumbuhan bahkan ada yang tergantung pertumbuhan dengan mikoriza, termasuk anggrek.
Anggrek agar bisa tumbuh baik di tempat lain harus berada di lingkungan dengan iklim dan kelembaban sama dengan habitat asli. Ia juga membutuhkan mikoriza ini. Berarti pengambilan anggrek harus disertai membawa serta sebagian pohon yang menjadi inang. Maka penebangan pohon pun menjadi tak terhindarkan.
Konservasi anggrek
Dengan makin berkurang anggrek ini di alam, kata Rinaldi, upaya konservasi menjadi tak terelakkan. Salah satu melalui pembiakan anggrek alam di laboratorium dengan teknologi tissue culture atau kultur jaringan.
Sebenarnya, ada cara pembiakan anggrek lain, lebih konvensional, memperbanyak dengan stek atau pemisahan anakan. Hanya, cara ini dianggap memerlukan waktu dan biaya besar guna memperoleh bibit dalam jumlah banyak.
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman melalui perbanyakan jaringan mikro tanaman. Ia ditumbuhkan secara invitro menjadi tanaman yang sempurna dalam jumlah tidak terbatas.
Teknologi kultur jaringan pada anggrek ini bukan hal baru. Di Hawai dan Singapura, misal, upaya ini sudah lama dilakukan, bahkan menjadi industri skala besar dengan dukungan biaya dan teknologi tinggi. Di Indonesia, sudah ada upaya kultur jaringan skala rumah tangga dengan peralatan teknologi sederhana.
Rinaldi telah melakukan kultur jarinngan anggrek sejak 2008 lalu. Beberapa jenis anggrek dikultur oleh Rinaldi, antara lain Phalaenopsis celebensis, Phalaenopsis amabilis dan Phalaenopsis ambonensis. Saat ini, anggrek sedang proses pengkulturan adalah anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum).
Anggrek ini juga langka karena waktu tumbuh lama. Populasi pun makin berkurang karena eksploitasi para pengumpul anggrek. “Sangat sulit menemukan anggrek tebu saat ini.”
Keunikan lain dari anggrek ini, bentuk besar, bahkan boleh dikata paling besar dan paling berat diantara jenis-jenis anggrek. Pada satu rumpun dewasa, anggrek ini bisa mencapai berat lebih satu ton dengan panjang malai hingga tiga meter.
Pembiakan anggrek melalui kultur jaringan ini untung-untungan. Tidak semua proses bisa berjalan baik. Karena ada banyak prosedur harus dilakukan secara ketat. Penyebab kagagalan pengkulturan antara lain kontaminasi, pencoklatan, vitrifikasi, variabilitas genetik, dan lain-lain.
Untuk kultur jaringan ini, semua bagian anggrek bisa dijadikan eksplan atau bagian tanaman sebagai bagian awal perbanyakan. Bagian tanaman bisa pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, dan lain-lain. Bagian tanaman ini dipotong kecil-kecil seukuran 0,5-1 cm, harus di tempat dengan udara steril. Bisa menggunakan alat bernama laminar air flow cabinet yang berteknologi tinggi ataupun teknologi sederhana dengan entkas. Proses di bagian termasuk krusial, tidak boleh terkontaminasi dengan mikroba atau jamur maupun kontaminasi lain yang kemungkinan bercampur dengan udara.
Untuk proses pembiakan membutuhkan media tanam padat namun dibuat seperti gel menggunakan agar-agar. Ia ditempatkan di dalam toples yang disterilisasi baik dipanaskan ataupun pemberian alkohol dalam takaran tertentu. Di dalam toples inilah proses pembiakan awal anggrek terjadi.
Menurut Rinaldi, perlu waktu tiga bulan atau lebih hingga tunas anggrek ini ditanam dalam bentuk kecambah di luar toples. Biasa, ditanam dalam green house pada wadah yang mengandung unsur hara cukup. Ia bisa pupuk ataupun sisa-sisa pohon yang sudah sangat lapuk. Pada masa ini, tanaman harus ditungkup terlebih dahulu selama seminggu, sebagai proses penyesuaian iklim bagi tanaman.
Setelah beberapa minggu tanaman hasil aklimitasi ini bisa dipindahkan di wadah-wadah, yang disesuaikan habitat anggrek itu. Inilah yang akan berbunga pada periode-periode tertentu.
Pertumbuhan anggrek berbeda-beda untuk setiap jenis. Untuk anggrek tebu, perlu waktu dua tahun untuk tumbuh dan berbunga. “Itupun mesti di lingkungan lebih hangat dan pot berlubang. Anggrek ini berbunga banyak dan mampu bertahan sampai dua bulan. Setelah itu, ia akan kembali berbunga setahun kemudian.”
Anggrek hasil kultur jaringan Rinaldi ini sebagian besar telah dikembalikan di alam. Ratusan sudah ditanam di hutan Pendidikan Unhas Bengo-bengo Kabupaten Maros pada 8-9 Juni 2012.
Rinaldi bersama mahasiswa Jurusan Agronomi Unhas beberapa kali pelatihan kultur jaringan anggrek untuk skala rumah tangga di Maiwa Kabupaten Enrekang dan Malino Kabupaten Gowa.
Rinaldi meyakini, melalui konservasi sumber daya alam in-situ hanya dapat berhasil dan berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat di sekitar wilayah hutan. “Eksploitasi anggrek oleh warga tanpa memperhatikan kelestarian hutan suatu masalah. Namun kita pun tidak bisa serta merta menyalahkan mereka.”
Selama ini, mencari anggrek di hutan sudah menjadi sumber penghasilan mereka. Salah satu yang bisa ditawarkan, katanya, dengan menunjukkan bagaimana warga bisa memanfaatkan SDA ini dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar